Almarhum miman bento
Jumat, 12 September 2014
Kamis, 08 Mei 2014
IHYA ULUMIDDIN KARYA IMAM GHAZALI
Kitab ke dua : kaidah kaidah iktikad (akidah)
Kitab ke tiga : thaharah (bersuci)
Kitab ke empat : rahasia shalat
Kitab ke lima :zakat
Kitab ke enam : rahasia puasa
Kitab ke tujuh : rahasia ibadah haji
Kitab ke delapan : membaca alquran
Kitab ke sembilan : doa dan zikir
Kitab ke sepeluh : wirid
Kitab ke sebelas :tata kesopanan makan
Kitab ke dua belas : rahasia nikah
Kitab ke tiga belas : tata keramah
mencari nafkah
Kitab ke empat belas : halal dan
haram
Ktab ke lima belas : etika pergaulan dan kasih sayang
Kitab ke enam belas : mengasingkan diri ( uzla )
Kitab ke tujuh belas : adab dalam bepergian
Kitab ke sembilan belas : amar ma'ruf dan nahi munkar
Kitab ke duapuluh : kehidupan dan akhlak kenabian
Kitab ke duapuluh satu : keajaiban keajaiban hati
Kitab ke duapuluh dua : melatih jiwa, membersikan akhlak dan mengobati hati
Kitab ke duapuluh tiga :menghancurkan syahwat perut dan kemaluan
Kitab ke duapuluh empat : bahaya bahaya lidah
Kitab ke duapuluh lima : marah, dendam dan benci
Kitab ke duapuluh enam :keburukan duniawi (harta)
Kitab ke duapuluh tujuh : cinta harta dan kikir
Kitab ke duapuluh delapan : kemahsyuran dan riya
Kitab ke duapuluh sembilan: sombong dan ujub (membanggakan diri )
Kitab ke tigapuluh : orang orang tertipu
Kitab ke tigapuluh satu : taubat
Kitab ke tigapuluh dua : sabar dan syukur
Kitab ke tigapuluh tiga : harap dan takut
Kitab ke tigapuluh empat : fakir dan zuhud
Kitab ke tigapuluh lima : tauhid dan tawakal
Kitab ke tigapuluh enam : cinta , rindu dan ikhlas
Kitab ke tigapuluh tujuh : niat dan ikhlas
Kitab ke tigapuluh delapan : koreksi dan pengawasan diri
Kitab ke tigapuluh sembilan : tafakur ( berpikir )
Kutab ke empat puluh : mengingat kematian
Penutup.
posted from Bloggeroid
Rabu, 07 Mei 2014
Mengingat mati
setiap orang hakekatnya sedang mengantri untuk menuju kematianالحمدلله رب العالمين و الصلاة والسلام على سيدنا و حبيبنا محمد و على آله و صحبه و من تابعهم بإحسان إلى يوم الدينBicara kematian, bagi sebagian orang mungkin adalah topik yang tidak mengenakkan.
Padahal kematian adalah sesuatu yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hari ada-ada saja berita duka yang kita dengar, apakah melalui media TV, radio, corong TOA masjid, bahkan jejaring sosial memudahkan kita untuk mendengar berita duka. Kita mendengar si fulan meninggal, si anu wafat, tapi terkadang respon yang sampai kepada kita hanya sebatas ‘oo.. turut berduka“ “sedih ya…” kasihan keluarganya…dst..”
Tidak sedikit orang yang sampai benar-benar masuk ke dalam relung hatinya hingga menginsyafi bahwa sesungguhnya kematian orang lain adalah selfwarning yang sangat berharga.
Tidak heran diceritakan dalam satu hiyakat wali allah,
ada seorang pemuda yang berjalan di jalan umum kemudian ia melihat iring-iringan jenazah dibawa dlm rombongan.
Anak muda itu pun seketika penasaran dan langsung bertanya kepada seorang syaikh yang berada di sebelahnya.
Ya Syaikh, siapakah yang meninggal itu? Maka syaikh tadi marah dan berkata: “yang meninggal itu adalah kamu, jika kamu tidak suka dengan jawaban saya maka yang meninggal itu adalah saya!”
Faham maksud perkataan syaikh tadi?
Dari kacamata sar'i mungkin sulit dipahami, tapi dari kacamata hati maka sangat mudah kita resapi jawaban dan respon syaikh atas pertanyaan si pemuda tadi. Syaikh Waliyullah tadi marah atas ketidak awasan pemuda tadi akan hikmah kematian dan kesibukannya dalam mengidentifikasi siapa yang wafat hingga melalaikan kewajiban dirinya.
Jika seseorang melihat atau mendengar kematian maka kewajiban pertama adalah membawakan kepada dirinya sendiri, apakah sudah siap menghadap ALLAH?
Bukan malah sibuk bertanya-bertanya siapa yang meninggal, memberi empati, atau sekedar tau lalu cuek dengan pengambilan manfaatnya.
Oleh sebab itu, ajaran Islam ketika mendengar kabar meninggal dunia adalah diam sejenak dan mengucapkan:إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْن“Sesungguhnya kita semua milik ALLAH dan sesungguhnya hanyalah kepadaNya kita semua kembali.”
Jika sunnah yang ini sederhana ini diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak ada sifat cinta dunia, sombong, ananiyah, munafik, aniaya, zhalim, dan sifat malas dalam berbuat kebaikan.
Jika makna kematian itu bisa diresapi, maka hancur tunduklah segala sifat yang merusak. Sifat-sifat kebinatangan akan hilang dan akan muncul sifat-sifat malaikat yang penuh ketaatan. Potensi kebaikan akan naik signifikan dan potensi buruk cenderung lebih ditekan. Kematian seorang (baik mukmin, atau bukan), hakekatnya bisa menjadi rahmah bagi manusia yang masih hidup.Kematian dan RizqiDalam usia kandungan 4 bulan di rahim ibu, setiap manusia sudah diputuskan tiga perkara yakni jodohnya, kematiannya, dan rizqinya. Kematian tidak akan datang kecuali seluruh nikmat telah disempurnakan.
Allah berikan hak dan keperluan hidup manusia dengan sempurna, tidak dikurang dan tidak dilebihkan hingga batas kematiannya. Bahkan di dalam hadits dikatakan, rizqi seseorang lebih cepat mengejarnya daripada usahanya dalam menjeput rizqi.Jika kita sadar bahwa kematian tidak akan datang kecuali telah sempurna diberikannya rizqi, maka setiap nikmat yang diperoleh harusnya mengantarkan kita kepada dzikrul maut.
Ketika kita memperoleh nikmat, walau sekecil apapun, maka seharusnya yang teringat pertama kali adalah maut. Tidak heran bila ulama’ dulu pabila mereka sedang makan saja, mereka berkata: hambaMu yang banyak maksiyat ini sedang memakan nikmatMu..”. bahkan al Habib Mundzir Al Musawa –rahimahullah- mengatakan: “Satu helaan nafasmu adalah satu langkahmu menuju kematian..” . Begitulah ulama’ salaf mencontohkan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari agar tidak lepas dari dzirullah dan dzikrul maut. Mungkin inilah yang dimaksud oleh ALLAH di dalam Al Quran:الذين يذكرون الله قياما وقعودا و على جنوبهم“yaitu orang-orang yang senantiasa mengingati ALLAH baik dalam keadaan berdiri maupun duduk dan ketika berbaring..”Manusia itu kalau capek berdiri, pasti akan duduk. Jika sudah capek duduk dan berdiri (beraktivitas), maka pasti akan berbaring (istirahat).
Maka, nikmat yang hakiki bukan hebatnya kita dalam pandangan manusia, sibuknya kita di dalam mencari nafkah dan penghidupan, bukan pada kekayaan materi atau sekedar titipan rizqi, tapi nikmat yang hakiki ialah apa-apa yang mengantarkan seseorang kepada penghidupan yang baik setelah mati.Wallahu a’lam
posted from Bloggeroid
Kamis, 01 Mei 2014
Shalat
Apakah Shalat Berjama’ah di Masjid Wajib ataukah Sunnah? 20 Votes Shalat Berjama’ah di Masjid Sebagian besar tulisan di bawah ini yang awal, saya salin dari buku karya Al Jauziyah, Ibnul Qoyyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha, Terjemahan Bahasa Indonesia: Rahasia dibalik Shalat. Hal: 119-150. Jakarta: Pustaka Azzam, Cetakan Kesembilan Agustus 2005. Buku Rahasia di balik sholat karya Ibnul Qoyyim Apakah sah shalat seseorang yang melaksanakannya sendirian, sedangkan ia mampu untuk melaksanakan shalat berjama’ah? Pembahasan tentang masalah ini ditetapkan atas 2 pokok permasalahan: 1. Apakah shalat berjama’ah itu wajib hukumnya, ataukah sunnah saja? 2. Jika shalat berjama’ah itu wajib, apakah ia merupakan syarat sahnya shalat atakah keshahihan shalat berjama’ah dapat menyebabkan dosa jika ditinggalkan? Pembahasan permasalahan pertama Para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal ini, diantara para ahli fiqih yang menyatakan bahwa shalat berjama’ah itu wajib adalah ‘Atha bin Abu Rabah, Hasan Al-Bashry, Abu ‘Amru Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam madzhabnya, serta tulisan/karangan Imam Syafi’i dalam “Mukhtashar Al-Mazany” tentang shalat berjama’ah. Beliau berkata, “Tidak ada keringanan dalam meninggalkan shalat berjama’ah kecuali bagi mereka yang berhalangan.” (Ringkasan “Al-Muzanniy” yang dengan sungguh-sungguh ummu 1/109) Bnu Al-Mundzir berkata dalam “Kitab Al-Ausath”, “Orang buta sekalupun wajib melaksanakan shalat berjama’ah, walaupun rumah mereka berjauhan dari masjid.” Hal ini menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah: Sesungguhnya menghadiri shalat berjama’ah itu wajib hukumnya bukan sunnah. Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah sesungguhnya jarak antara rumahku dan masjid dibatasi oleh pohon, dapatkah aku jadikan alasan untuk melaksanakan shalat di rumah saja?” Rasulullah berkata, “Apakah kamu mendengar Iqamah?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah bersabda lagi, “Maka datanglah kamu ke masjid dan shalat berjama’ahlah kamu di sana.” Ibnu Mundzir berkata, “Ditakutkan dapat menyebabkan kenifakan bagi mereka yang meninggalkan shalat Isya’ adn Subuh berjama’ah. Kemudian dalam pertengahan babnya dijelaskan: Banyak Hadits menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah bagi mereka yang tidak berhalangan untuk melaksanakannya. Dalil yang menunjukkan adalah perkataan Ibnu Munzir tentang Ibnu Ummi Maktum yang cacat, “Tiada keringanan bagimu (dalam shalat berjama’ah)”. Jika seorang buta saja tidak mendapatkan keringanan dalam shalat berjama’ah, apalagi bagi orang yang dapat melihat. Ia berkata, “Rasulullah pernah mengancam akan membakar orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah. Saya ingin menjelaskan tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena tidak diperbolehkan (melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri) maka Rasulullah mengancam mereka yang menggantikan yang sunnah dan bukan fardhu. Ia berkata: Hadits Abu Hurairah menguatkan hal tersebut, “Sesungguhnya seorang laki-laki keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan. Ia berkata, “Orang itu telah mengingkari Abu Qasim (Rasulullah saw).” (Ibnu Majah dalam “Masajid dan Jama’ah-jama’ah”, 793 Abu Dawud dalam “Shalat”, 551 Daruquthni/ 1 420 dan dibenarkan oleh Hakim, 1/245 dan Ibnu Hibban, 2064 dan lengkaplah pendapat mereka, “Kecuali bagi mereka yang udzur”) Walaupun orang menghadapi pilihan untuk meninggalkan shalat berjama’ah atau mendatanginya, tidak boleh (tidak ada alasan) bagi orang yang meninggalkan apa yang tidak wajib baginya hadir untuk berbuat ingkar (dengan meninggalkan shalat berjama’ah), karena ketika Allah SWT memerintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan takut, maka hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan aman hal itu lebih diwajibkan. Hadits-hadits yang telah disebutkan dalam tulisan bab-bab Rukhshah tentang meninggalkan shalat berjama’ah bagi mereka yang mempunyai udzur untuk melaksanakannya, menunjukkan atas wajibnya shalat berjam’ah bagi mereka yang memilik udzur, walapun keadaan udzur dan tidak udzur adalah sama saja, secara maknawai dalam bab-ba udzur belum ditemukan Rukhshah (keringanan) untuk meninggalkans shalat berjama’ah. Dalil yang menegaskan wajibnya shalat berjama’ah adalah sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa mendengar panggilan untuk shalat dan ia tidak menjawabnya maka tidak sah shalat yang ia lakukan.” (HR. Muslim dalam “Al-Masajid” 665, diriwayatkan oleh yang lain-lain). Kemudian hadits ini mengarahkan ke arah tujuan tersebut kemudian ia berkata: Syafi’i berkata: Allah SWT mengingatkan sahalat dengan adzan, firman Allah SWT, “Dan jika kalian dipanggil untuk melaksanakan shalat.” (QS. Al-Maidah: 87) dan firman Allah SWT, “Jika dipanggil untuk melaksanakan shalat di hari Jum’at maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9), dan Rasulullah menjadikan adzan sebagai hal yang sunnah untuk memanggil shalat yang lima waktu, karena sifatnya yang demikian (adzan merupakan panggilan untuk melaksanakan shalat), maka tidak diperbolehkan untuk shalat yang lima waktu itu selain berjama’ah, sehingga tidak ada shalat yang didirkan selain dengan shalat berjama’ah, tidak ada keringanan bagi mereka yang dapat melaksanakan shalat berjama’ah untuk meninggalkannya kecuali bagi mereka yang mempunyai udzur. Jika seseorang meninggalkan shalat berjama’ah kemudian melaksanakan shalat sendirian, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang shalat kembali, baik ia melaksanakan shalat sebelum imam maupun sesudahnya, kecuali shalat jum’at, karena barangsiapa secara sengaja melaksanakan shalat sebelum imam, maka dia wajib untuk mengulanginya, karena menghadiri shalat jum’at adalah wajib. Demikiianlah penjelasan Ibnu Al-Mundzir mengenai shalat berjama’ah. Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat: shalat berjama’ah itu sunnah muakad, tetapi mereka berpendapat bahwa meninggalkannya merupakan dosa, sedangkan mereka mensahkan (membenarkan) shalat yang tanpa berjama’ah. Dal hal ini mereka bertentangan dengan orang yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya shalat berjama’ah itu wajib lafdzy.” Di Bawah ini merupakan penjelasan orang yang mengatakan wajb: Orang-orang yang meawjibkan shalat berjama’ah berkata: Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan bersama-sama, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang segolongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu….” (QS. An-Nisa: 102). Bentuk pembuktiannya adalah sebagai berikut: 1. Dalil pertama: Perintah Allah SWT kepada mereka untuk shalat berjama’ah, kemudian Allah mengulangi perintah tersebut untuk kedua kalinya bagi kelompok yang kedua. Firman Allah SWT, “Hendaklah datang golongan yang kedua belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.“ Bukti ini menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu fadhu ‘ain. Karena Allah tidak mengabaikan perintah untuk shalat berjama’ah pada kelompok yang kedua sebagaimana yang diperintahkan kepada kelompok pertama untuk melaksanakan shalat berjama’ah pula. Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa shalat berjama’ah itu sunnah, karena jika demikian halnya, pastilah kelompok pertama memiliki udzur untuk tidak melaksanakan shalat berjama’ah dengan alasan akan adanya rasa takut. Tidak tepat pula kalau dikatakan shalat berjama’ah itu fardh kifayah, karena menjadi tidak relevan dengan apa yang dilakukan oleh kelompok yang pertama. Maka ayat tersebut merupakan dalil bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain. Hal ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1. Allah memerintahkan untuk shalat berjama’ah kepada kelompok pertama, 2. kemudian Allah memerintahkan kelompok kedua untuk melaksanakkannya juga, 3. Allah tidak memberikan keringanan-keringanan bagi mereka untuk meninggalkannya walaupundalam keadaan takut. 2. Dalil kedua: Firman Allah SWT: يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٍ۬ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ (٤٢) خَـٰشِعَةً أَبۡصَـٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٌ۬ۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَـٰلِمُونَ (٤٣) “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereke tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera. ” (QS. Al-Qalam: 42-43). Aspek yang dapat dijadikan dall shalat berjama’ah adalah: sesungguhnya Allah SWT member hukuman di hari kiamat, dikarenakan antara keadaan mereka dan sujud, ketika mereka dipanggil untuk bersujud di dunia, mereka enggan untuk menjawab panggilan tersebut. Jika demikian halnya, maka jawaban dari panggilan itu adalah datang ke masjid untuk memenuhi tuntunan shalat berjama’ah, dan bukan mengerjakan shalat di rumahnya sendiri, demikianlah Nabi saw menjelasakan jawabannya. Muslim meriwayatkan dalm shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata, Seseorang lelaki buta datang kepada Nabi seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah memiliki penuntun jalan untuk menuntunku datan ke masjid, kemudian ia meminta Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia berpaling (hendak berlalu pergi) Rasulullah memanggilnya kembai dan berkata, “Apakah kamu mendengar panggilan (adzan).” Ia berkata, “Ya.” Rasululla bersabda, “Maka Jawablah.” (HR. Muslim “Al-Masaajid wa Mawadli’ Al-Shalah”. 63). Ia tidak menjawab panggilan tersebut dengan melaksanakan shalat di rumahnya, jika ia mendengar panggilan (seruan adzan), hal ini menunjukkan bahwa jaawban yang diminta dari perintah tersebut adalah mendatangi masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah. Hadits Ibnu Ummi Maktum juga membutikannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kota (Madinah) itu bnyak sekali hal yang mengerikan dan binatang buas, Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (Mariah shalat dan marila mencapai kebahagiaan)?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah berkata, “Hayyahala (Penuhilah kedua ajakan itu).” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad (Lafadz ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Al-Shalat” 553 dan Nasa’i dalam “Imamah” 2/110 dan Ahmad 3/423 serta Ibnu Majah dalam “Al-Masajid” 792. Dibenarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1480). Hayyahala adalah kalimat perintah yang artinya adalah terimalah dan jawablah. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya menjawabapa yang diperintahkan di sini adalah melaksanakan shalat berjama’ah, sedangkan yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab panggilan tersebut. Tidak sedikit ulama salaf yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah, “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan yang sejahtera” adalah perataan Mu’adzin, “Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falah”. (Diriwayatkan oleh Thabari 43/29) dari Ibrahim at-Taimy an Sa’id bin Jabir dan ditetapkan oleh Suyuti dalam Daruquthni yang terkenal 8/256. Baihaqi dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mardiyah berita-berita dari Ka’ab). Dalil di atas membuktikan dua hal: 1. Bahwasanya menjawab panggilan (untuk shalat berjama’ah) adalah wajib, 2. Bahwa yang dimaksud dengan menjawab panggilan di sini adalah menghadiri shalat berjama’ah. Inilah yang dipahami oleh golongan orang yang paling mengetahui dan paling memahami apa yang dimaksud dengan “Manjawab Panggilan”, mereka itu adalah para sahabat radhiallahu’anhum. Ibnu Mundzir berkata dalam kitab Al-Ausath, “Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa sesungguhnya keduanya berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan (seruan adzan) kemudian tidak menjawabnya, maka sesungguhnya tidak diterima salatnya, kecuali bagi mereka yang berhalangan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubar” 3/174). Ia berkata, dan diriwayatkan dari Aisyah sesungguhnya ia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan (seruan adzan) dan ia tidak menjawab, dan tidak menerima dengan baik dan tidak menerimanya.” (Diriwayatkn oleh Al-Baihaqi “As-Sunan Al-Kubra: 3/57). Dari Abu Hurairah ia berkata, “Mengisi kedua telinga anak manusia dengan timah yang terkumpul lebih baik bagi seorang anak manusia daripada ia mendengar seruan (panggilan untuk shalat) kemudian ia tidak menjawab panggilan tersebut.” Hal ini dan banyak lagi dalil yang lainnya menunjukkan bahwa para sahabat menjawab panggilan tersebut dengan menghadiri shalat berjama’ah, sedangkan mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab panggilan tersebut, aka mereka menjadi berdosa. 3. Dalil ketiga: Firman Allah SWT: وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” (QS. Al-Baqarah: 43). Konteks dari ayat tersebut adalah sesunguhnya Allah SWT memerintahkan mereka untuk ruku, yang dimaksud ruku disini adalah shalat, dan shalat diibaratkan dengan ruku karena ruku merupakan salah satu rukun shalat, dan shalat ini diibaratkan dengan rukun-rukunnya dan wajib-wajibnya. Seperti Allah SWT menamakannya dengan sujud (sujuudan), quraanan, maupun pujian-pujian (tasbiihan), maka mestilah firman Allah SWT “ma’ar raki’in” mempunya pengertian lain, yang tidak lain dari melaksanakannya bersama para jama’ah yang melaksanakan shalat dan kebersamaan itu mengandung makna tersebut. Jika perintah yang terikat (Al-Amru Al-Muqayyad) ditetapkan berdasarkan bentuk sifat dan kondisi tertentu, maka orang yang mendapatkan perintah tersebut harus mengaplikasikannya sesuai dengan sifat dan kondisi tersebut. Jika dikatakan bahwa kewajiban shalat berjama’ah ini menjadi batal dengan firman Allah SWT, “Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran: 43). Maka wanita tidak diwajibkan untuk hadir dalam shalat berjama’ah. Dijelaskan ayat ini tidak menunjukkan bahwa seorang wanita tidak diperintahkan untuk shalat berjama’ah, akan tetapi perintah tersebut dikhususkan kepada Maryam saja. Berberda dengan firman Allah SWT, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43). Dalam hal ini Maryam memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh wanita lain, karena ibunya pernah bernadzar untuk menjadikan Maryam sebagai hama yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah, dan untuk beribadah kepada-Nya, serta mengabdi untuk memakmurkan masjid, dan tidak meninggalkannya. Maka diperintahkan kepadanya untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’. Dan ketika Allah SWT memilih Maryam dan mensucikannya di atas semua wanita yang ada di dunia, Allah memerintahkannya untuk selalu ta’at kepada perintah-Nya dengan perintah yang khusus dan lain dari wanita pada umumnya. Firman Allah SWT, Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di duni (yang semasa denganmu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang sujud.” (QS. Ali Imran: 42-43). Maka jika dikatakan keadaan mereka yang diperintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, tidak secara harfiah menunjukkan kewajiban untuk ruku’ seperti mereka, akan tetapi menunjukkan akan keharusan untuk melakukan perintah tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman bertawakallah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119), kebersamaan (kata ma’a) yang dimaksud menuntut keikutsertaan dan keterlibatan dalam melakukan pekerjaan dan bukan hanya sebatas mengiringi. Dijelaskan bahwa hakekat kebersamaan adalah pertalian antara apa yang sesudahnya dengan apa-apa yang sebelumnya, dan pertalian disini lebih ditekankan kepada keikutsertaan, apalagi dalam shalat. Maka jika dikatakan shalatlah engkau bersama jama’ah, atau aku telah melaksanakan shalat bersama dengan jama’ah. Maka hal itu tidaklah dapat dipahami kecuali kumpulnya mereka untuk melaksanakan shalat. 4. Dalil keempat: Yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain – dengan lafadz Bukhari – Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku sangat ingin memerintahkan (orang-orang) untuk mengumpulkan kayu bakar lalu dinyalakan, kemudian aku memerintahkan shalat sehingga dikumandangkanlah adzan untuk itu, lalu aku memerintahkan seseorang laki-laki untuk mengimami mereka, sementara aku mencari orang-orang (yang tidak mengikuti shalat berjama’ah) dan aku bakar rumah mereka. Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara mereka mengetahui bahwa ia akan mendapatkan potongan daging yang gemuk atau dua binatang buruan yang baik, niscaya ia akan mengikuti jama’ah shalat Isya.” (HR. Shahih Bukhari dalam “Adzan” 744, Muslim dalam “Al-Masajid” 751, dan ‘Arq = tulang dan daging, atau memotong daging, sedang “marmatami” mempunyai pengertian antaranya: yang ada di antara dua kuku kambing yang dibuang atau selainnya). Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: إِنَّ أَثْقَلَ الصًّلاَةِ عَلَى الْمُنَا فِقِيْنَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَ صَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَاوَلَوْحَبْوًاوَلَقَدْهَمَمْتُ أَنْ آمُرَبِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِ جَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat isya (berjama’ah) dan shalat subuh (berjama’ah), seandainya merek mengetahui (hikmah) yang ada dalam keduanya niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin memerintahkan (orang-orang) untuk melaksanakan shalat sehingga shalat itu didirikan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang yang membawa ikatan kayu bakar (yang menyala) menuju kepada orang-orang yang tidak mengikuti shalat (berjama’ah), lalu aku membakar rumah mereka dengan api itu.” (Kedua Imam, Muslim dan Bukhari, sepakat atas keshahihan hadits ini, dan lafadz dari Muslim. Dari hadits yang sama pendapat keduanya dan Bukhari berpendapat seperti itu, 657). Dari Imam Ahmad dari Nabi Muhammad saw, “Kalau di rumah itu tidak ada wanita dan anak-anak, aku melaksanakan shalat isya, dan aku perintahkan para pemuda untuk membakar apa yang ada di dalam rumah itu. ” (HR. Musnad Imam Ahmad, 2/367). Mereka yang mengatakan tidak wajib mengemukakan beberapa alasan yang menunjukkan tidak wajibnya shalat berjama’ah ditinjau dari beberapa aspek: a. Pertama: Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at. Dalil yang memperkuatnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Musim dalam shahihnya dari hadits Abdullah bin Mas’ud r.a. sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda kepada kaumnya yang meninggalkan shalat Jum’at, “Telah aku perintahkan laik-laki untuk shalat berjama’ah, kemudian aku akan membakar rumah laki-laki yang melaksanakan shalat jum’at di rumah mereka.” (HR. Shahih Muslim dalam “Al-Masajid wa Mawadi’u Al-Shalah” 652) b. Kedua: Sesungguhnya hal ini boleh dilakukan ketika hukuman denda berupa materi dijalankan, kemudian dihapuskan dengan adanya hukuman yang berupa hukuman denda tersebut. c. Ketiga: Dalam hal ini Nabi hanya mengancam saja tanpa berniat untuk melaksanakan ancamannya. Kalau seandainya pembakaran tersebut dibolehkan/dilaksanakan maka hal itu menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah. Sesungguhnya hukuman tidak harus demikian, bahkan jika seandainya shalat berjama’ah itu wajib, atau haram sekalipun, ketika Nabi tidak melaksanakan ancamannya, hal itu menunjukkan bahwa pembakaran tidak boleh dilaksanakan. Mereka berkata, “Hadits di atas menunjukkan batalnya wajib shalat berjama’ah, karena meninggalkan shalat berjama’ah, bukan berarti meninggalkan hal yang wajib (dalam hal ini shalat fardhu).” Mereka juga berkata bahwa Nabi saw berniat untuk membakar rumah-rumah mereka, dikarenakan kepura-puraan (kemunafikan) mereka, bukan lantaran karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah. Orang-orang yang mewajibkan shalat berjama’ah berkata, “Dalil-dalil yang Anda sebutkan tidak mengandung petunjuk yang membatalkan hadits yang mengisyaratkan wajibnya shalat berjama’ah: Perkataan kalian, “Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jum’at.” Memang benar bahwa ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jum’at tetapi juga sekaligus ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah. Secara gamblan hadits Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa hal itu ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan hal itu secara jelas terdapat di awal dan akhir hadits. Dan hadits Ibnu Mas’ud r.a. menunjukkan bahwa hal itu juga ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat jum’at. Maka dalam hal ini tidak ada pertentangan di antar kedua hadits tersebut. Sedangkan perkataan kaian, “Sesungguhnya hal itu dihapuskan.” Alangkah sulitnya untuk menguatkan/menetapkan pendapat tersebut! Dimanakah syarat-syarat naskh (penghapusan) yang mengharuskan adanya hukum pengganti dari hukum yang digantikannya. Niscaya kalian dan semua penghuni bumi ini tidak akan mempunyai cara untuk menetapkan statement tersebut. Telah banyak orang yang menjadikan Naskh dan Ijma’ sebagai cara untuk menghapuskan sunnah-sunnah yang tetap dari Rasulullah saw dan ini bukanlah hal yang sepele. Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan sunnah-sunnah Rasulullah saw yang benar dengan menggunakan dan jangan pula meninggalkannya dengan menggunakan Naskh kecuali ada Naasikh (yang menghapuskannya) yang benar dan jelas yang datang setelah itu yang diambil dan dijaga oleh ummat manusia. Jika ummat ini meninggalkan Naasikh yang seharusnya dijaga, dan sebaliknya menjaga Mansukh yang hukumnya telah tidak berlaku lagi, maka tidak ada lagi yang tersissa dari agama ini. Akan tetapi banyak dari generasi selanjutnya yang jika melihat hadits yang bertentangan dengan madzhab mereka, mereka kemudian mena’wilkannya (sesuai dengan madzhab mereka), hal ini jelas akan menimbulkan pertentangan. Jika datang kepada mereka dalil yang mematahkan pendapat mereka, mereka akan berdalih dengan menggunakan Ijma’, dan jika mendapatkan pertentangan yang tidak memungkinkan mereka untuk menggunakan Ijma’, mereka berdalih bahwa dalil tersebut telah di-Mansukh-kan.ik A Cara demikian bukanlah cara yang sepatutnya dilakukan oleh ummat Islam. Bahkan ummat Islam menentang cara-cara seperti ini, dan jika mereka menemukan sunnah Rasulullah saw yang benar dan jelas, mereka tidak akan membatalkannya dengan ta’wil dan tidak pula dengan Ijma’ serta Naskh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah merupakan orang-orang yang sangat menentang cara-cara seperti itu dengan taufik Allah SWT. Sesugguhnya Nabi tidaklah melaksanakan niatnya untuk orang yang dilarang yang telah dikabarkan bahwa Rasullah saw telah mencegahnya untuk melakukan hal itu, yaitu mencakup rumah yang di dalamnya terdapat orang yang tidak diwajibkan atas mereka shalat berjama’ah yang terdiri dari para wanita dan anak-anak, maka apabila seandainya mereka membakar untuk melaksanakan hukuman kepada mereka yang tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah, hal ini tidak dapat dilakukan. Sebagaiman jika al-Had (Hukum Syari’at) dijatuhkan kepada wanit yang hamil, maka hukuman itu tidak dilakukan (ditunda) sampai wanita itu melahirkan, agar hukuman tersebut tidak berakibat kepada kehamilannya. Dan Rasulullah saw selamanya tidak bermaksud untuk melakukan apa yang tidak boleh dilaksanakan. Sebagian ulama telah memberikan jawaban yang lain, yaitu, “Sesungguhnya kaum ini lebih takut kepada Rasulullah saw daripada mendengarkan perkataan tersebut, kemudian mereka meninggalkan shalat berjama’ah.” Adapun pendapat kalian yang menyebutkan, Bahwa hadits itu menunjukkan adanya ketidakwajiban shalat berjama’ah, karena beliau ragu-ragu apakah ia meninggalkannya atau tidak. Satu hal yang tidak mungkin dinisbatkan dan tidak pula dituduhkan kepada Rasulullah saw adalah bahwa beliau ragu-ragu memberikan hukuman kepada sekelompok kaum Muslimin dengan membakar rumah-rumah mereka karena meninggalkan suatu amalan sunnah yang belum diwajibkan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan Rasulullah saw belum memberitahukan bahwa beliau pernah melakukan shalat sendirian, tetapi beliau shalat berjama’ah dengan para sahabatnya yang pergi bersamanya ke rumah itu. Juga kalaulah ia shalat sendirian maka pastilah di sana ada dua kewajiban yaitu, Wajib berjama’ah dan wajib memberikan hukuman kepada orang-orang berbuat maksiat dan memeranginya. Maka dalam hal ini meninggalkan yang lebih rendah dari kedua kewajiban tersebut karena mendahulukan yang lebih tinggi, seperti halnya pada shalat khauf. Adapun pendapat anda yang menyebutkan: Bahwa Beliau saw bermaksud memberi hukuman kepada mereka karena keingkaran mereka bukan karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah. Maka hal ini perlu dilihat dua hal. Pertama adalah pembatalan apa yang diekspresikan oleh Rasulullah saw dan menghubungkan hukuman karena meninggalkan shalat berjama’ah. Kedua mengekspresikan apa yang dibatalkannya, maka sesungguhnya tidaklah orang-orang munafik itu dihukum karena nifak mereka, tetapi karena perbuatan mereka yang tidak terlihat, sedangkan yang tersembunyi dari mereka diserahkan kepada Allah. (Yang berpendapat bahwa maksudnya adalah keinginan orang-orang munafik adalah Syafi’i dan lain-lain sebagaimana di dalam “Al-Majmu” 4/192, dan dikuatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini dalam “Fathul Baari”, hanya saja ia menguatkan bahwa maksudnya kemaksiatan dan bukan kekafiran seperti yang dimaksud oleh Pengarang). 5. Dalil Kelima : Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab “Shahih”-nya: Bahwa seorang laki-laki buta berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak memilki seorangpun yang dapat menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta Rasulullah saw untuk memberikan keringanan baginya. Ketika ia berpaling, dipanggilnya ia oleh Rasulullah saw dan berkata, “Apakah engkau mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw menjawab, “Penuhilah (datanglah untuk shalat)”. Orang ini adalah Ibnu Ummi Maktum dan ada perbedaan pendapat mengenai namanya, kadang disebut Abdullah dan kadang disebut Amru. Dalam “Musnad” Imam Ahmad, dan “Sunan” Abu Dawud dari Amru bin Ummi Maktum berkata, “Aku berkata wahai Rasulullah aku orang lemah yang jauh dari masjid dan aku punya pemimpin tapi tidak melindungiku, apakah ada keringanan buatku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw bersabda, “Apakah engkau mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw berkata lagi, “Tidak ada keringanan bagimu”. Orang-orang yang menolak diwajibkannya shalat Jama’ah berpendapat: Ini perkara yang disukai bukan perkara yang diwajibkan. Perkataan Nabi saw yang menyebutkan,”Tidak ada keringanan bagimu” artinya kalau engkau mau mendapat keutamaan berjama’ah, maka lakukanlah. Ada lagi yang berpendapat: Hal ini telah dimansukh. Orang yang mewajibkan berpendapat: Perintah itu berarti suatu keharusan. Jadi bagaimana jika seorang ahli syara menerangkan bahwasanya tidak ada keringanan bagi seorang hamba yang tidak berjama’ah karena lemah dan jau dari masjid dan tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Maka kalaulah seorang hamba itu kebingungan antara shalat sendirian atau berjama’ah pasti yang paling bingung ini adalah orang seperti yang buta itu. Abu Bakar bin Mundzir berpendapat bahwa perintah untuk berjama’ah kepada orang yang buat dan yang rumahnya jauh merupakan dalil yang menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu wajib bukan sunnah. Ketika dikatakan kepada Ibnu Ummi Maktum yang kenyataannya buta, “Tidak ada keringanan bagimu” maka lebih-lebih bagi orang yang melihat tidak ada keringanan baginya. 6. Dalil Keenam : Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hatim dan Ibnu Hibban dalam hadits shahihnya dari Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendengar adzan dan tidak ada udzur apapun yang menghalanginya dari keikutsertaannya.” Mereka berkata, “Udzur apa?” Nabi saw bersabda, “Ketakutan atau sakit, maka shalat yang sudah dilaksanakannya tidak akan diterima.” Orang-orang yang tidak mewajibkannya berpendapat bahwa hadits ini mempunyai dua cacat: a. Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dari Ma’ariku yang merupakn seorang budak dan ia lemah di kalangan mereka. b. Kedua : Hadits itu diketahui dari Ibnu Abbas dan berhenti padanya, tidak sampai kepada Rasulullah saw. Orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa: Qosim Ibnu Asbagh dalam kitabnya berkata: Ismai’il bin Ishak al-Qadli telah menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Habib bin (Abi) Tsabit, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Barang siapa mendengar adzan dan tidak menjawab, maka tidak punya pahala shalat kecuali karena adanya udzur.” dan cukuplah bagi Anda kebenaran hadits ini dengan isnad tersebut. [Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli 4/190] Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir Ali bin Abdul Aziz kepada kami, Amr bin Auf menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami, dari Syu’bah dari Huda bin Tsabit, dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas dengan hadits yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah saw). [Hadits ini diriwayatkan berdasarkan jalur riwayat Hasyim dari Syu'bah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban 2064 dari Baihaqi 3/174]. Mereka mengatakan Ma’arik yang merupakan seorang budak telah meriwayatkan kepadanya Abi Ishak As-Sabi’i berdasarkan kemuliaannya. Kalau mungkin tidak benar, dia akan mencabutnya, maka benar apa yang datang dari Ibnu Abbas tanpa ada keraguan, yaitu bahwa riwaya tersebut merupakan perkataan sahabat yang tidak dibantah oleh sahabat yang lain. 7. D
Sejarahnya buol
Miman bento 1-5-2014
Asal mula daerah kabupaten buol Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah Nusantara namun sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia daerah ini tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain. Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I. Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan Propinsi Sumatera, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku - tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua. Kendati demikian, pesan-pesan untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah dikirim ke seluruh pelosok Pulau Sulawesi. Karena itulah meskipun pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi tidak berjalan lagi, tokoh-tokoh pergerakan di daerah ini segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai. Di Kota Poso misalnya, para pemuda di bawah pimpinan W. L. Talasa mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang dan membentuk barisan sukarela dengan nama Pemuda Merah Putih. Organisasi ini dipimpin oleh Yacob Lamayuda, bekas perwira Heiho. Demikian pula di Donggala dan Palu. Raja Banawa R. Lamara Una mengambil alih kekuasaan tentara Jepang. Sementara itu kurir Gubernur Sulawesi yang dikirim melalui Palopo tiba di Poso. Utusan ini terdiri dari Landau dan kawan-kawan. Lalu datang Ali Lemato, A. Tumu dan seorang kurir lainnya dari Gorontalo. Kedatangan mereka menambah semangat sehingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih bergelora lagi di seluruh Pulau Sulawesi. Untuk lebih meningkatkan perjuangan ke daerah-daerah lainnya dikirim pula kurir. Ke daerah Donggala / Palu diutus Abdul Gani (Isa Piola) yang membawa siaran-siaran tertulis dari Gubernur Sulawesi. Tetapi usaha-usaha para tokoh pergerakan dan pemuda untuk membentuk pemerintahan nasional RI di daerah ini tidak dapat terwujud karena digagalkan oleh kolonial Belanda (NICA) yang kembali ke Sulawesi Tengah dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu pada bulan September 1945. Keadaan semakin mencekam dan genting, ketika tentera Sekutu pada 1946 meninggalkan Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Sejak itu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang secara langsung berhadapan dengan Belanda dilakukan secara bergerilya dan di bawah tanah. Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu - Donggala mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui pembentukan partai-partai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis sepenuhnya di bawah kontrol Belanda. Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II) adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda. Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain, negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan Belanda. Tanpa mempedulikan perundingan - perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946. Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar (Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba. Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli. Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947 seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist). Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan. Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah. Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia) menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI. Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950 diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan: "Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi, Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7 tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta negara-negara bagiannya. Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai 1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai gubernur permanen untuk propinsi ini. Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960 dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan ibukotanya Manado. Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu. Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1, baru terjadi mulai masa bakti Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta pada tahun 1950an, dan kemudian G-30-S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporak-porandakan kehidupan perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 2,2 milyar. Sejak itu Propinsi Selawesi Tengah berusaha terus untuk memacu pembangunan. LINTASAN SEJARAH Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia Sulawesi Tengah memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nusantara secara keseluruhan. Sulawesi Tengah telah memiliki penghuni tetap sejak zaman prasejarah. Ciri-ciri fisik penduduk asli Sulawesi Tengah memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari percampuran antara bangsa Wedoid dan Negroid. Penduduk asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku-suku baru menyusul datangnya gelombang perpindahan bangsa Proto-Melayu pada tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu pada sekitar 300 SM. Di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, misal di tepian Danau Poso, telah ditemukan berbagai peralatan dalam bentuk kedudayaan Dongson (perunggu) dari zaman Megalitikum. Barang-barang tersebut berupa kapak-kapak dan gelang-gelang perunggu, manik-manik dan kulit-kulit siput, di samping sumpit dan jerat untuk berburu. Beberapa suku terasing masih mempergunakan alat-alat seperti itu. Namun karena saking tuanya Sulawesi Selatan sebagai daerah hunian manusia, beberapa cerita rakyat misalnya yang cukup populer di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala - mengklaim nenek moyang mereka adalah keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Ceritanya mirip kisah Adam dan Hawa. Alkisah, Tuhan menciptakan manusia dari dua genggam tanah. Yang satu menjadi seorang lelaki bernama Muljadi dan satu genggam lagi menjadi seorang perempuan bernama Juruantanah. Namun, jika Muljadi memiliki organ sempura, Juruantanah tidak. Alat kelaminnya tidak sempurna dan harus diperbaiki dulu oleh Muljadi dengan menggunakan tulang rusuk kirinya sebelum mereka menjadi suami-istri. Suku Tomini, yang terdiri dari dua subsuku (Tialo dan Lauje), di Teluk Tomini juga terdapat mitos serupa. Mereka mengaku nenek moyangnya adalah Saya Vuntu (perempuan) dari bumi dan Tompido (laki-laki) yang turun dari langit. Dari pasangan ini lahir empat anak dua laki-laki dan dua perempuan yang kemudian menjadi dua pasang suami-istri. Dari pasangan Wulan Membua-Yelelumpu lahir anak-anak yang kelak menjadi suku Tialo (Tomini) dan menghuni daerah pesisir. Sedangkan Yelelumut-Sai Mandulang menurunkan suku Lauje yang menghuni daerah pegunungan. Dari tradisi lisan juga diketahui adanya periode-periode To Manurung, atau utusan dari kayangan, yang merupakan perlambang kedatangan penguasa-penguasa dari luar untuk membawa perbaikan. dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Yang menarik, setiap To Manurung tadi selalu digambarkan datang di tengah-tengah suku atau masyarakat yang sudah ada. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimitoskan. sebagai utusan dari kayangan itu mungkin saja merupakan figur pemimpin atau penakluk yang berasal dari kaum pendatang. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah, Sulawesi Tengah tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai kawasan, yang kemudian menimbulkan gelombang perpindahan dan pada akhirnya menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dengan pendatang baru. Berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik, kebudayaan dan dialek bahasa, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar: Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Manakah di antara ketiga kelompok besar ini yang mula-mula berpindah dari tanah asalnya? Dan di manakah kira-kira perpindahan itu dimulai? Sarjana Swedia Walter Kaundem dalam bukunya Migration of Toraja in Central Celebes menyimpulkan bahwa ketiga kelompok tersebut - Palu, Koro dan Poso - menempuh dua rute pokok dalam perjalanan mereka. Perpindahan mereka diperkirakan dimulai dari suatu tempat di Malili Tenggara, Teluk Bone, terus ke barat laut dan singgah di kawasan pegunungan di sebelah barat Danau Poso. Dari tepi Danau Poso mereka menyebar lagi ke barat, barat daya, utara sampai ke daerah pegunungan Toli-Toli dan pantai Teluk Tomini. Mereka juga menempati daerah pantai utara dan pantai timur laut Sulawesi. Pada rute yang satu lagi mereka bergerak ke utara dan kemudian bercabang ke timur laut dan ke barat laut. Rute perpindahan yang pertama diperkirakan dilakukan oleh kelompok Koro Toraja, kemudian disusul oleh Poso dan Palu. Perpindahan yang terjadi kemudian merupakan perpindahan penduduk timur dan bergerak lebih jauh ke utara dan barat laut. Dari cerita rakyat diketahui bahwa di dekat Danau Poso terdapat monumen yang dibangun oleh nenek moyang mereka untuk memperingati perpisahan mereka sebelum menyebar ke arah empat mata angin. Monumen tersebut berbentuk tonggak batu (menhir). Ketiga kelompok besar itu terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dan bergerak terus. Ada yang kemudian menetap di lembah Palu, ada yang mendiami Teluk Tomini dan ada yang terus menyeberang lautan dan mencapai pulau-pulau Togian di bagian timur laut. Yang lainnya bahkan mencapai daerah barat daya Parigi. Kelompok - kelompok kecil tersebut kemudian menciptakan suku-suku baru. Kebiasaan berpindah-pindah itu diperkirakan berhenti pada abad ke-18. Sejarah Sulawesi Tengah sampai akhir abad ke-13 boleh dikatakan gelap sama sekali. Minimnya sumber tertulis menyulitkan penulisan sejarah tentang kerajaan-kerajaan kuno di daerah tersebut. Pada waktu itu di Sulawesi Tengah sudah berdiri sejumlah kerajaan, seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Buku Negara kertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 menyebutkan daerah Banggai sebagai salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Menurut cerita rakyat, Raja Banggai Adi Lambal memang pernah menyerahkan pemerintahannya kepada seorang raja dari jawa, yang mengawini salah seorang iparnya. Raja jawa tersebut digelari Tomundo Doi Jawa. Menurut cerita rakyat, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa Kuno terletak di suatu tempat di gunung yang dinamai Kainggurui dan nenek moyang rajanya berasal dari sejenis tumbuhan-tumbuhan yang mengandung banyak air, namanya Lian. Setelah permaisurinya "kembali ke langit", Raja Lian kawin lagi dengan seorang wanita yang menjelma dari satu tangkai bambu kuning. Dari perkawinan ini lahir seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang kemudian memberi Lian tujuh orang cucu enam laki-laki dan satu perempuan. Keenam anak laki-laki tersebut masing-masing menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat dan kemudian menjadi penguasa di daerah baru tersebut. Kisah tentang asal-usul kerajaan-kerajaan lainnya juga tidak jauh berbeda dengan asal-usul Kerajaan Banawa. Penguasa Kerajaan Tawaeli, misalnya, juga diceritakan berasal dari penjelmaan daun. Di antara kedua kerajaan tersebut pernah terjadi peperangan yang berkepanjangan karena persoalan perempuan. Informasi tentang keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut terungkap lebih jelas pada Zaman Baru, atau sekitar abad ke-16, yang ditandai dengan kehadiran Sawergading, tokoh penjelmaan To Manurung yang diterima secara kesatuan di Sulawesi Tengah. Dari tradisi lisan ini dapat disimpulkan bahwa Sulawesi Tengah bersatu ketika berada di bawah kekuasaan Sawergading yang berasal dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Pada abad ke-16 Islam mulai berkembang di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah sebagai hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Banggai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, agama Islam pun mulai menggeser animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat setempat. Namun karena Kesultanan Ternate pernah berada di bawah kekuasaan Portugis, maka secara tidak langsung Banggai pun jatuh ke tangan bangsa Portugis. Selain Kerajaan Banggai, pada abad ke-16 di Sulawesi Tengah terdapat sejumlah kerajaan yang cukup penting, antara lain: Banawa, Sigi, Biromaru, Tawaeli, Pontolan, Sindue, Dolo, Bangga, Tatanga, Palu, Sibalaya, Kulawi, Parigi, Kasimbar, Muotong, Lambunu, Pamona, Pekurehua, Ondae, Mori, dan Buol. Di Teluk Tomini juga terdapat kerajaan-kerajaan tua seperti Sipayo dan Bondoyo, namun sumber-sumber sejarah tentang kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak ada lagi. Pada abad tersebut kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan semakin memperbesar pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Perluasan pengaruh kekuasaan ini diiringi dengan adanya hubungan perkawinan di antara para penguasanya. Kemudian datang pula pengaruh dari Mandar, terutama di kawasan pantai barat dan pantai timur Teluk Tomoni. Raja-raja Tawaeli, Kasimbar, Toribulu, dan Muotong mengaku berasal dari keturunan raja-raja Mandar. Namun pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Hal ini diketahui dari tradisi lisan bahwa payung-payung kerajaan dari beberapa raja yang ada berasal dai Bone. Begitu pula dengan asal-usul penguasa suku Tialo dari Teluk Tomini bernama Labaso yang kabarnya berasal dari Bone, dan keturunan raja Sindoe yang berasal dari Welado - sehingga dalam lontara orang Welado, Sindue ditulis Sindo. Dalam silsilah raja Sindue disebut adanya perkawinan antara putri raja yang berkepala dua bernama Pincepute dengan seorang bangsawan dari Welado. Dengan adanya hubungan perkawinan tadi maka adat kebiasaan dan kebudayaan serta tata pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dapat diterima di Sulawesi Tengah. Hal ini terlihat dari bentuk rumah, nama yang berawalan La, Daeng, Andi dan struktur pemerintahan dalam bentuk Pitunggota dan Patanggota. Pitunggota adalah suatu dewan yang terdiri dari tujuh anggota dan merupakan lembaga legislatif yang diketuai oleh seorang Baligau. Susunannya sebagai berikut: Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Galara, Tadulako, Pabicara, dan Sabandara. Pejabat-pejabat ini diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Maligau. Susunan pemerintahan ala Bone ini terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli mengatur Patanggota, sistem pemerintahan ala Wajo. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya. Menyusul pengaruh Bugis adalah pengaruh Mandar, seperti yang terjadi dengan munculnya kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini di mana cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam bidang pemerintahan pengaruh Mandar bisa dilihat dengan dipakainya istilah raja. Sebelumnya yang dikenal hanyalah gelar Olongian atau tuan tuan tanah yang memerintah secara otonom di wilayahnya masing-masing. Gelar-gelar lainnya yang berasal dari Mandar adalah Pue dan Puang. Dalam silsilah raja-raja Kasimbar tercatat adanya tokoh bernama Arajang Pate Kaci yang menikah dengan putri Olongian setempat. Kalau dihubungkan dengan berita dari zaman sejarah kuno pada waktu kedatangan ekspedisi dari Mandar di bawah komando tiga bersaudara Toriwisean, Magau Dianggu dan. Pueta Karikaca, dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa Karikacalah yang meneruskan petualangannya ke Teluk Tomini, lalu menikah di Kasimbar dan kemudian menjadi raja di tempat itu. Menurut tradisi lisan, tokoh inilah yang melancarkan penaklukan dari Tolole sampai Molosipat. Selanjutnya antara anak Olongian setempat, cucu Pueta Karikaca, yang bernama Pua Woli menikah dengan Sappewali yang diyakini sebagai bangsawan dari Mandar. Sappewali kemudian dinobatkan sebagai raja Toribulu. Dari perkawinan ini lahirlah Putri Pika yang kemudian kawin dengan Raja Moutong Tombolotutu. Kerajaan Moutong pun merupakan suatu kerajaan yang cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ada suatu kerajaan tua di Lambunu yang cikal-bakal rajanya berasal dari Lampasio. Yang menarik, bahasa yang dipergunakan di Kerajaan Lambunu mirip dengan bahasa Buol/Toli-Toli. Menurut cerita tersebut asal raja Lambunu memang bersaudara dengan raja dari Toli-Toli. Di Kerajaan Lambunu ada seorang bangsawan Mandar yang karena kematian istrinya lalu menitipkan putranya yang bernama Magaluntung untuk dipelihara oleh raja Lambunu. Setelah dewasa Magaluntung dijemput oleh ayahnya dan kemudian dinobatkan sebagai raja di Motuong. Namun sebelum dia dilantik sebagai raja, ayahnya telah mengikat perjanjian saling bantu dan saling menghormati dengan raja Lambunu. Walaupun kerajaan di Teluk Tomini ini berasal dari mandar, agaknya pengaruh Gorontalo/Ternate yang datang lebih dahulu lebih dominan dalam struktur pemerintahannya. Maka susunan pemerintahannya sebagai berikut: Olongian (kepala negara), jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (menteri pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Tentang kerajaan-kerajaan yang ada di lembah Kaili dapat diketahui dari cerita rakyat bahwa dari sekian banyak kerajaan yang akhirnya berkembang sebagai kerajaan besar adalah Banawa di pantai barat Sulawesi Tengah. Kerajaan Banawa (Zaman Baru) dibentuk dengan bantuan atau campur tangan penguasa luar, dalam hal ini Sawerigading, walaupun pada waktu itu memang telah ada pemimpin kelompok masyarakat setempat. Cikal-bakal rajanya diawali oleh perkawinan antara - putra Sawerigading, Lamappangando, dengan Putri Ibadantasa dari Ganti. Keturunan dari hasil perkawinan inilah yang kelak berkuasa di Banawa selama beberapa generasi. Seiring dengan meluasnya pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, agama Islam pun berkembang pesat di Sulawesi Tengah. Daerah-daerah yang pertama tersentuh ajaran Islam adalah kawasan pesisir, karena persebaran agama ini mengikuti rute perclagangan. Sedangkan daerah pedalaman pada abad ke-16 masih tetap berpedoman pada animisme yang telah mereka kenal sejak zaman kuno. Untuk wilayah Sulawesi Tengah agaknya Kerajaan Buol dan Kerajaan Luwuk Banggai yang mula-mula menerima ajaran Islam, yaitu pada sekitar pertengahan abad ke-16. Kedua kerajaan ini merupakan daerah pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate yang telah menganut Islam paling lambat sejak abad ke-15. Sejak tahun 1540 Buol sudah berbentuk kesultanan yang diperintah oleh seorang yang memakai nama Islam, Eato Mohammad Tahir, yang menduduki tahta Buol sampai tahun 1595. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa selambat-lambatnya Islam masuk dari Ternate ke daerah tersebut sejak zaman Sultan Eato. Dalam sejarah Buol tercatat bahwa Sultan Eato bersahabat dengan Sultan Ternate Hairun (1550 - 1570) dan Sultan Babullah (1570 - 1584). Harmonisnya hubungan persahabatan di antara kedua kerajaan Islam tersebut Sultan Babullah menghadiahkan sebuah tongkat berkepala emas yang berhiaskan tulisan Arab yang berbunyi "Sultan Ternate." Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang memasuki Sulawesi Tengah, disusul oleh Spanyol dan kemudian Belanda (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi Belanda. Pada tahun 1669 sudah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Sulawesi Tengah, termasuk kerajaan-kerajaan Kaili seperti Banawa, Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak pembelian emas dengan Kaili. Sebelumnya Belanda juga telah menjalin hubungan dagang dengan Parigi, setelah memaksa Spanyol pergi dari sana pada tahun 1663. Adanya kontrak perdagangan emas antara Kaili dengan VOC ternyata mengundang campur tangan VOC dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut yang pada waktu itu memang sering mengganggu perairan Selat Makassar. Ancaman paling besar datang dari kawanan bajak laut Mindanao. Belanda juga membangun benteng atau loji di Parigi dan Lambunu. Pembuatan loji di Parigi merupakan bentuk campur tangan Belanda untuk secara langsung mengawasi penambangan emas yang diusahakan oleh sebuah perusahaan Belanda. Tetapi penambangan ini tidak lama usianya karena produksinya merosot terus. Gagal dari tambang emas, Belanda mulai mengusik Kerajaan Buol yang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Portugis sejak tahun 1592. Belanda memesan babi dari Sultan Pondu dari Buol yang beragama Islam. Pesanan tersebut, yang sebenarnya merupakan provokasi, mengundang amarah Sultan Pondu. Dalam suatu perlawanan atas penghinaan tersebut Sultan Pondu tertangkap dan kemudian dibawa ke Manado. Di sana ia dibunuh dengan secara keji. Tubuhnya diikatkan pada dua ekor kuda yang kemudian disuruh lari ke arah yang berlawanan hingga badan Sultan Buol itu terbelah dua. Belanda mulai meningkatkan tekanannya terhadap raja-raja di Sulawesi Tengah pada abad ke-18. Gubernur Paatbrugge mengirimkan pasukan bersenjata untuk memaksa raja-raja di wilayah itu agar datang ke Gorontalo atau Manado untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan gaya dagang seperti itu Belanda berhasil menyingkirkan pesaing-pesaingnya dari Eropa dan sekaligus menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah. Pada permulaan abad ke-20 kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Tengah telah diikat oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan lang contract dan korteverklaring. Terhadap kerajaan-kerajaan yang menolak perikatan itu, Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Kemudian wilayah kerajaannya dipecah-belah, misalnya Kerajaan Tojo Una-una dibagi menjadi Kerajaan Tojo dan Kerajaan Una-una. Kerajaan Sigi dipecah menjadi Kerajaan Sigi dan Kerajaan Dolo. Kerajaan Mori dipecah menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku. Demikian pula dengan Kerajaan Banggai. Kerajaan ini menjadi Kerajaan Banggai Daratan dan Kerajaan Banggai Lautan. Pada umumnya yang dijadikan raja dari kerajaan baru itu adalah keluarga dekat dari keturunan raja sebelumnya, sehingga mengakibatkan terpecahnya wilayah kerajaan dan rakyatnya. Pada tahun 1905 Belanda membagi Pulau Sulawesi menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara. Batas kedua propinsi tersebut adalah Pegunungan Tokolekayu di sebelah selatan Danau Poso. Propinsi Sulawesi Selatan dengan ibukotanya Makassar dipimpin oleh seorang gubernur dan Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dipimpin oleh seorang