Miman bento 1-5-2014
Asal mula daerah kabupaten buol Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah Nusantara namun sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia daerah ini tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain. Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I. Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan Propinsi Sumatera, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku - tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua. Kendati demikian, pesan-pesan untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah dikirim ke seluruh pelosok Pulau Sulawesi. Karena itulah meskipun pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi tidak berjalan lagi, tokoh-tokoh pergerakan di daerah ini segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai. Di Kota Poso misalnya, para pemuda di bawah pimpinan W. L. Talasa mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang dan membentuk barisan sukarela dengan nama Pemuda Merah Putih. Organisasi ini dipimpin oleh Yacob Lamayuda, bekas perwira Heiho. Demikian pula di Donggala dan Palu. Raja Banawa R. Lamara Una mengambil alih kekuasaan tentara Jepang. Sementara itu kurir Gubernur Sulawesi yang dikirim melalui Palopo tiba di Poso. Utusan ini terdiri dari Landau dan kawan-kawan. Lalu datang Ali Lemato, A. Tumu dan seorang kurir lainnya dari Gorontalo. Kedatangan mereka menambah semangat sehingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih bergelora lagi di seluruh Pulau Sulawesi. Untuk lebih meningkatkan perjuangan ke daerah-daerah lainnya dikirim pula kurir. Ke daerah Donggala / Palu diutus Abdul Gani (Isa Piola) yang membawa siaran-siaran tertulis dari Gubernur Sulawesi. Tetapi usaha-usaha para tokoh pergerakan dan pemuda untuk membentuk pemerintahan nasional RI di daerah ini tidak dapat terwujud karena digagalkan oleh kolonial Belanda (NICA) yang kembali ke Sulawesi Tengah dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu pada bulan September 1945. Keadaan semakin mencekam dan genting, ketika tentera Sekutu pada 1946 meninggalkan Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Sejak itu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang secara langsung berhadapan dengan Belanda dilakukan secara bergerilya dan di bawah tanah. Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu - Donggala mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui pembentukan partai-partai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis sepenuhnya di bawah kontrol Belanda. Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II) adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda. Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain, negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan Belanda. Tanpa mempedulikan perundingan - perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946. Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar (Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba. Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli. Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947 seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist). Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan. Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah. Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia) menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI. Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950 diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan: "Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi, Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7 tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta negara-negara bagiannya. Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai 1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai gubernur permanen untuk propinsi ini. Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960 dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan ibukotanya Manado. Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu. Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1, baru terjadi mulai masa bakti Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta pada tahun 1950an, dan kemudian G-30-S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporak-porandakan kehidupan perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 2,2 milyar. Sejak itu Propinsi Selawesi Tengah berusaha terus untuk memacu pembangunan. LINTASAN SEJARAH Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia Sulawesi Tengah memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nusantara secara keseluruhan. Sulawesi Tengah telah memiliki penghuni tetap sejak zaman prasejarah. Ciri-ciri fisik penduduk asli Sulawesi Tengah memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari percampuran antara bangsa Wedoid dan Negroid. Penduduk asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku-suku baru menyusul datangnya gelombang perpindahan bangsa Proto-Melayu pada tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu pada sekitar 300 SM. Di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, misal di tepian Danau Poso, telah ditemukan berbagai peralatan dalam bentuk kedudayaan Dongson (perunggu) dari zaman Megalitikum. Barang-barang tersebut berupa kapak-kapak dan gelang-gelang perunggu, manik-manik dan kulit-kulit siput, di samping sumpit dan jerat untuk berburu. Beberapa suku terasing masih mempergunakan alat-alat seperti itu. Namun karena saking tuanya Sulawesi Selatan sebagai daerah hunian manusia, beberapa cerita rakyat misalnya yang cukup populer di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala - mengklaim nenek moyang mereka adalah keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Ceritanya mirip kisah Adam dan Hawa. Alkisah, Tuhan menciptakan manusia dari dua genggam tanah. Yang satu menjadi seorang lelaki bernama Muljadi dan satu genggam lagi menjadi seorang perempuan bernama Juruantanah. Namun, jika Muljadi memiliki organ sempura, Juruantanah tidak. Alat kelaminnya tidak sempurna dan harus diperbaiki dulu oleh Muljadi dengan menggunakan tulang rusuk kirinya sebelum mereka menjadi suami-istri. Suku Tomini, yang terdiri dari dua subsuku (Tialo dan Lauje), di Teluk Tomini juga terdapat mitos serupa. Mereka mengaku nenek moyangnya adalah Saya Vuntu (perempuan) dari bumi dan Tompido (laki-laki) yang turun dari langit. Dari pasangan ini lahir empat anak dua laki-laki dan dua perempuan yang kemudian menjadi dua pasang suami-istri. Dari pasangan Wulan Membua-Yelelumpu lahir anak-anak yang kelak menjadi suku Tialo (Tomini) dan menghuni daerah pesisir. Sedangkan Yelelumut-Sai Mandulang menurunkan suku Lauje yang menghuni daerah pegunungan. Dari tradisi lisan juga diketahui adanya periode-periode To Manurung, atau utusan dari kayangan, yang merupakan perlambang kedatangan penguasa-penguasa dari luar untuk membawa perbaikan. dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Yang menarik, setiap To Manurung tadi selalu digambarkan datang di tengah-tengah suku atau masyarakat yang sudah ada. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimitoskan. sebagai utusan dari kayangan itu mungkin saja merupakan figur pemimpin atau penakluk yang berasal dari kaum pendatang. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah, Sulawesi Tengah tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai kawasan, yang kemudian menimbulkan gelombang perpindahan dan pada akhirnya menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dengan pendatang baru. Berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik, kebudayaan dan dialek bahasa, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar: Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Manakah di antara ketiga kelompok besar ini yang mula-mula berpindah dari tanah asalnya? Dan di manakah kira-kira perpindahan itu dimulai? Sarjana Swedia Walter Kaundem dalam bukunya Migration of Toraja in Central Celebes menyimpulkan bahwa ketiga kelompok tersebut - Palu, Koro dan Poso - menempuh dua rute pokok dalam perjalanan mereka. Perpindahan mereka diperkirakan dimulai dari suatu tempat di Malili Tenggara, Teluk Bone, terus ke barat laut dan singgah di kawasan pegunungan di sebelah barat Danau Poso. Dari tepi Danau Poso mereka menyebar lagi ke barat, barat daya, utara sampai ke daerah pegunungan Toli-Toli dan pantai Teluk Tomini. Mereka juga menempati daerah pantai utara dan pantai timur laut Sulawesi. Pada rute yang satu lagi mereka bergerak ke utara dan kemudian bercabang ke timur laut dan ke barat laut. Rute perpindahan yang pertama diperkirakan dilakukan oleh kelompok Koro Toraja, kemudian disusul oleh Poso dan Palu. Perpindahan yang terjadi kemudian merupakan perpindahan penduduk timur dan bergerak lebih jauh ke utara dan barat laut. Dari cerita rakyat diketahui bahwa di dekat Danau Poso terdapat monumen yang dibangun oleh nenek moyang mereka untuk memperingati perpisahan mereka sebelum menyebar ke arah empat mata angin. Monumen tersebut berbentuk tonggak batu (menhir). Ketiga kelompok besar itu terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dan bergerak terus. Ada yang kemudian menetap di lembah Palu, ada yang mendiami Teluk Tomini dan ada yang terus menyeberang lautan dan mencapai pulau-pulau Togian di bagian timur laut. Yang lainnya bahkan mencapai daerah barat daya Parigi. Kelompok - kelompok kecil tersebut kemudian menciptakan suku-suku baru. Kebiasaan berpindah-pindah itu diperkirakan berhenti pada abad ke-18. Sejarah Sulawesi Tengah sampai akhir abad ke-13 boleh dikatakan gelap sama sekali. Minimnya sumber tertulis menyulitkan penulisan sejarah tentang kerajaan-kerajaan kuno di daerah tersebut. Pada waktu itu di Sulawesi Tengah sudah berdiri sejumlah kerajaan, seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Buku Negara kertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 menyebutkan daerah Banggai sebagai salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Menurut cerita rakyat, Raja Banggai Adi Lambal memang pernah menyerahkan pemerintahannya kepada seorang raja dari jawa, yang mengawini salah seorang iparnya. Raja jawa tersebut digelari Tomundo Doi Jawa. Menurut cerita rakyat, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa Kuno terletak di suatu tempat di gunung yang dinamai Kainggurui dan nenek moyang rajanya berasal dari sejenis tumbuhan-tumbuhan yang mengandung banyak air, namanya Lian. Setelah permaisurinya "kembali ke langit", Raja Lian kawin lagi dengan seorang wanita yang menjelma dari satu tangkai bambu kuning. Dari perkawinan ini lahir seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang kemudian memberi Lian tujuh orang cucu enam laki-laki dan satu perempuan. Keenam anak laki-laki tersebut masing-masing menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat dan kemudian menjadi penguasa di daerah baru tersebut. Kisah tentang asal-usul kerajaan-kerajaan lainnya juga tidak jauh berbeda dengan asal-usul Kerajaan Banawa. Penguasa Kerajaan Tawaeli, misalnya, juga diceritakan berasal dari penjelmaan daun. Di antara kedua kerajaan tersebut pernah terjadi peperangan yang berkepanjangan karena persoalan perempuan. Informasi tentang keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut terungkap lebih jelas pada Zaman Baru, atau sekitar abad ke-16, yang ditandai dengan kehadiran Sawergading, tokoh penjelmaan To Manurung yang diterima secara kesatuan di Sulawesi Tengah. Dari tradisi lisan ini dapat disimpulkan bahwa Sulawesi Tengah bersatu ketika berada di bawah kekuasaan Sawergading yang berasal dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Pada abad ke-16 Islam mulai berkembang di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah sebagai hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Banggai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, agama Islam pun mulai menggeser animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat setempat. Namun karena Kesultanan Ternate pernah berada di bawah kekuasaan Portugis, maka secara tidak langsung Banggai pun jatuh ke tangan bangsa Portugis. Selain Kerajaan Banggai, pada abad ke-16 di Sulawesi Tengah terdapat sejumlah kerajaan yang cukup penting, antara lain: Banawa, Sigi, Biromaru, Tawaeli, Pontolan, Sindue, Dolo, Bangga, Tatanga, Palu, Sibalaya, Kulawi, Parigi, Kasimbar, Muotong, Lambunu, Pamona, Pekurehua, Ondae, Mori, dan Buol. Di Teluk Tomini juga terdapat kerajaan-kerajaan tua seperti Sipayo dan Bondoyo, namun sumber-sumber sejarah tentang kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak ada lagi. Pada abad tersebut kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan semakin memperbesar pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Perluasan pengaruh kekuasaan ini diiringi dengan adanya hubungan perkawinan di antara para penguasanya. Kemudian datang pula pengaruh dari Mandar, terutama di kawasan pantai barat dan pantai timur Teluk Tomoni. Raja-raja Tawaeli, Kasimbar, Toribulu, dan Muotong mengaku berasal dari keturunan raja-raja Mandar. Namun pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Hal ini diketahui dari tradisi lisan bahwa payung-payung kerajaan dari beberapa raja yang ada berasal dai Bone. Begitu pula dengan asal-usul penguasa suku Tialo dari Teluk Tomini bernama Labaso yang kabarnya berasal dari Bone, dan keturunan raja Sindoe yang berasal dari Welado - sehingga dalam lontara orang Welado, Sindue ditulis Sindo. Dalam silsilah raja Sindue disebut adanya perkawinan antara putri raja yang berkepala dua bernama Pincepute dengan seorang bangsawan dari Welado. Dengan adanya hubungan perkawinan tadi maka adat kebiasaan dan kebudayaan serta tata pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dapat diterima di Sulawesi Tengah. Hal ini terlihat dari bentuk rumah, nama yang berawalan La, Daeng, Andi dan struktur pemerintahan dalam bentuk Pitunggota dan Patanggota. Pitunggota adalah suatu dewan yang terdiri dari tujuh anggota dan merupakan lembaga legislatif yang diketuai oleh seorang Baligau. Susunannya sebagai berikut: Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Galara, Tadulako, Pabicara, dan Sabandara. Pejabat-pejabat ini diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Maligau. Susunan pemerintahan ala Bone ini terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli mengatur Patanggota, sistem pemerintahan ala Wajo. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya. Menyusul pengaruh Bugis adalah pengaruh Mandar, seperti yang terjadi dengan munculnya kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini di mana cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam bidang pemerintahan pengaruh Mandar bisa dilihat dengan dipakainya istilah raja. Sebelumnya yang dikenal hanyalah gelar Olongian atau tuan tuan tanah yang memerintah secara otonom di wilayahnya masing-masing. Gelar-gelar lainnya yang berasal dari Mandar adalah Pue dan Puang. Dalam silsilah raja-raja Kasimbar tercatat adanya tokoh bernama Arajang Pate Kaci yang menikah dengan putri Olongian setempat. Kalau dihubungkan dengan berita dari zaman sejarah kuno pada waktu kedatangan ekspedisi dari Mandar di bawah komando tiga bersaudara Toriwisean, Magau Dianggu dan. Pueta Karikaca, dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa Karikacalah yang meneruskan petualangannya ke Teluk Tomini, lalu menikah di Kasimbar dan kemudian menjadi raja di tempat itu. Menurut tradisi lisan, tokoh inilah yang melancarkan penaklukan dari Tolole sampai Molosipat. Selanjutnya antara anak Olongian setempat, cucu Pueta Karikaca, yang bernama Pua Woli menikah dengan Sappewali yang diyakini sebagai bangsawan dari Mandar. Sappewali kemudian dinobatkan sebagai raja Toribulu. Dari perkawinan ini lahirlah Putri Pika yang kemudian kawin dengan Raja Moutong Tombolotutu. Kerajaan Moutong pun merupakan suatu kerajaan yang cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ada suatu kerajaan tua di Lambunu yang cikal-bakal rajanya berasal dari Lampasio. Yang menarik, bahasa yang dipergunakan di Kerajaan Lambunu mirip dengan bahasa Buol/Toli-Toli. Menurut cerita tersebut asal raja Lambunu memang bersaudara dengan raja dari Toli-Toli. Di Kerajaan Lambunu ada seorang bangsawan Mandar yang karena kematian istrinya lalu menitipkan putranya yang bernama Magaluntung untuk dipelihara oleh raja Lambunu. Setelah dewasa Magaluntung dijemput oleh ayahnya dan kemudian dinobatkan sebagai raja di Motuong. Namun sebelum dia dilantik sebagai raja, ayahnya telah mengikat perjanjian saling bantu dan saling menghormati dengan raja Lambunu. Walaupun kerajaan di Teluk Tomini ini berasal dari mandar, agaknya pengaruh Gorontalo/Ternate yang datang lebih dahulu lebih dominan dalam struktur pemerintahannya. Maka susunan pemerintahannya sebagai berikut: Olongian (kepala negara), jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (menteri pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Tentang kerajaan-kerajaan yang ada di lembah Kaili dapat diketahui dari cerita rakyat bahwa dari sekian banyak kerajaan yang akhirnya berkembang sebagai kerajaan besar adalah Banawa di pantai barat Sulawesi Tengah. Kerajaan Banawa (Zaman Baru) dibentuk dengan bantuan atau campur tangan penguasa luar, dalam hal ini Sawerigading, walaupun pada waktu itu memang telah ada pemimpin kelompok masyarakat setempat. Cikal-bakal rajanya diawali oleh perkawinan antara - putra Sawerigading, Lamappangando, dengan Putri Ibadantasa dari Ganti. Keturunan dari hasil perkawinan inilah yang kelak berkuasa di Banawa selama beberapa generasi. Seiring dengan meluasnya pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, agama Islam pun berkembang pesat di Sulawesi Tengah. Daerah-daerah yang pertama tersentuh ajaran Islam adalah kawasan pesisir, karena persebaran agama ini mengikuti rute perclagangan. Sedangkan daerah pedalaman pada abad ke-16 masih tetap berpedoman pada animisme yang telah mereka kenal sejak zaman kuno. Untuk wilayah Sulawesi Tengah agaknya Kerajaan Buol dan Kerajaan Luwuk Banggai yang mula-mula menerima ajaran Islam, yaitu pada sekitar pertengahan abad ke-16. Kedua kerajaan ini merupakan daerah pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate yang telah menganut Islam paling lambat sejak abad ke-15. Sejak tahun 1540 Buol sudah berbentuk kesultanan yang diperintah oleh seorang yang memakai nama Islam, Eato Mohammad Tahir, yang menduduki tahta Buol sampai tahun 1595. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa selambat-lambatnya Islam masuk dari Ternate ke daerah tersebut sejak zaman Sultan Eato. Dalam sejarah Buol tercatat bahwa Sultan Eato bersahabat dengan Sultan Ternate Hairun (1550 - 1570) dan Sultan Babullah (1570 - 1584). Harmonisnya hubungan persahabatan di antara kedua kerajaan Islam tersebut Sultan Babullah menghadiahkan sebuah tongkat berkepala emas yang berhiaskan tulisan Arab yang berbunyi "Sultan Ternate." Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang memasuki Sulawesi Tengah, disusul oleh Spanyol dan kemudian Belanda (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi Belanda. Pada tahun 1669 sudah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Sulawesi Tengah, termasuk kerajaan-kerajaan Kaili seperti Banawa, Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak pembelian emas dengan Kaili. Sebelumnya Belanda juga telah menjalin hubungan dagang dengan Parigi, setelah memaksa Spanyol pergi dari sana pada tahun 1663. Adanya kontrak perdagangan emas antara Kaili dengan VOC ternyata mengundang campur tangan VOC dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut yang pada waktu itu memang sering mengganggu perairan Selat Makassar. Ancaman paling besar datang dari kawanan bajak laut Mindanao. Belanda juga membangun benteng atau loji di Parigi dan Lambunu. Pembuatan loji di Parigi merupakan bentuk campur tangan Belanda untuk secara langsung mengawasi penambangan emas yang diusahakan oleh sebuah perusahaan Belanda. Tetapi penambangan ini tidak lama usianya karena produksinya merosot terus. Gagal dari tambang emas, Belanda mulai mengusik Kerajaan Buol yang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Portugis sejak tahun 1592. Belanda memesan babi dari Sultan Pondu dari Buol yang beragama Islam. Pesanan tersebut, yang sebenarnya merupakan provokasi, mengundang amarah Sultan Pondu. Dalam suatu perlawanan atas penghinaan tersebut Sultan Pondu tertangkap dan kemudian dibawa ke Manado. Di sana ia dibunuh dengan secara keji. Tubuhnya diikatkan pada dua ekor kuda yang kemudian disuruh lari ke arah yang berlawanan hingga badan Sultan Buol itu terbelah dua. Belanda mulai meningkatkan tekanannya terhadap raja-raja di Sulawesi Tengah pada abad ke-18. Gubernur Paatbrugge mengirimkan pasukan bersenjata untuk memaksa raja-raja di wilayah itu agar datang ke Gorontalo atau Manado untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan gaya dagang seperti itu Belanda berhasil menyingkirkan pesaing-pesaingnya dari Eropa dan sekaligus menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah. Pada permulaan abad ke-20 kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Tengah telah diikat oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan lang contract dan korteverklaring. Terhadap kerajaan-kerajaan yang menolak perikatan itu, Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Kemudian wilayah kerajaannya dipecah-belah, misalnya Kerajaan Tojo Una-una dibagi menjadi Kerajaan Tojo dan Kerajaan Una-una. Kerajaan Sigi dipecah menjadi Kerajaan Sigi dan Kerajaan Dolo. Kerajaan Mori dipecah menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku. Demikian pula dengan Kerajaan Banggai. Kerajaan ini menjadi Kerajaan Banggai Daratan dan Kerajaan Banggai Lautan. Pada umumnya yang dijadikan raja dari kerajaan baru itu adalah keluarga dekat dari keturunan raja sebelumnya, sehingga mengakibatkan terpecahnya wilayah kerajaan dan rakyatnya. Pada tahun 1905 Belanda membagi Pulau Sulawesi menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara. Batas kedua propinsi tersebut adalah Pegunungan Tokolekayu di sebelah selatan Danau Poso. Propinsi Sulawesi Selatan dengan ibukotanya Makassar dipimpin oleh seorang gubernur dan Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dipimpin oleh seorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar